Your search results

Rumitnya Menambal Cadangan Gas Nasional

Posted by Admin JSC on September 19, 2020
| 0

Defisit gas diprediksi terjadi pada 2023. Empat proyek gas yang masuk dalam daftar strategis nasional guna menutup kurangnya pasokan gas belum berjalan hingga sekarang.

Dalam beberapa tahun terakhir cadangan gas di Indonesia terus mengalami penurunan. Kondisinya semakin runyam karena kegiatan eksplorasi yang semakin sedikit. Akibatnya, negara ini diproyeksi mengalami defisit gas pada 2023.

Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Soerjaningsih pada 18 Mei lalu sempat mengatakan jika tidak ada proyek baru dan rencana pengembangan blok migas yang berjalan, pasokan gas yang ada tak akan cukup memenuhi kebutuhan domestik. “Memenuhi kontrak gas existing saja dari 2023 sudah tidak mampu,” ujarnya ketika itu.

Pemerintah sebenarnya berharap pada produksi empat proyek yang masuk dalam daftar strategis nasional guna menutup kurangnya pasokan gas. Keempatnya adalah proyek Tangguh Train 3, Lapangan Abadi Blok Masela, Indonesia Deep Water Development (IDD), dan Proyek Pengembangan Lapangan Gas Unitisasi Jambaran-Tiung Biru (JTB).

Namun, dalam perjalanannya, tak satu pun dari proyek tersebut telah berproduksi. Kondisinya semakin rumit karena harga minyak yang anjlok terimbas pandemi Covid-19. Pemenuhan cadangan gas pun menjadi jalan di tempat.

Pelaksana Tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurniasih mengatakan tertundanya operasional proyek Tangguh Train 3 dan JTB karena para pekerja mengikuti protokol Covid-19. Perusahaan migas asal Inggris, BP, saat ini mulai meningkatkan pembangunan Tangguh Train 3 melalui penambahan jumlah pekerja di lapangan dari 6.300 orang menjadi 7.700 orang.

Untuk JTB, SKK Migas sedang mengusahakan agar aktivitas pengerjaan proyek dapat dilakukan lebih lama dibandingkan jam kerja yang diterapkan pemerintah daerah Jawa Timur. “Lalu, untuk proyek IDD dan Masela, SKK Migas masih menunggu respons kontraktor kontrak kerja sama (KKKS),” katanya kepada Katadata.co.id, Kamis (17/9).

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, total cadangan gas di Indonesia hingga 2018 sebesar 135,55 triliun kaki kubik (TCF). Rinciannya, cadangan terbukti 99,06 TCF, cadangan potensial 21,26 TCF, dan cadangan yang mungkin 18,23 TCF. Volume tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 1 Januari 2017 total cadangan gas mencapai 142,72 TCF.

SKK MIgas mencatat status cadangan gas nasional per 2019 adalah 77 TCF, tidak termasuk potensi gas Natuna. Untuk meningkatkan angka itu, SKK Migas sedang merealisasikan kegiatan eksplorasi. “Kami berupaya agar di sisa tahun ini beberapa kegiatan dapat terealisasi secara optimal,” ucap Susana.

Hingga Agustus 2020, realisasi survei seismik dua dimensi telah mencapai 1.150 kilometer (di luar seismik Jambi Merang), seismik tiga dimensi mencapai 795 kilometer persegi, dan pengeboran sumur eksplorasi mencapai 14 sumur.

Sebagai perbandingan, pada 2018 aktivitas eksplorasi dua dimensi mencapai 2.469 kilometer. Di tahun berikutnya naik menjadi 14.356 kilometer. Sejak Januari hingga Agustus 2020 aktivitas survei dua dimensi mencapai 1.150 kilometer plus Jambi Merang 25.150 kilometer sehingga totalnya 26.300 kilometer. Angka realisasi itu mencapai 183% dibandingkan 2019.

Di tengah masalah cadangan gas ini, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto mengatakan kebutuhan energi nasional tidak semata dipenuhi dari minyak dan gas bumi. Masih ada sumber lain, seperti energi baru terbarukan atau EBT. Namun, investasi yang tergolong besar membuat pengembangannya pun menjadi sulit.

Ia menyebut perkembangan bauran energi primer dari tahun 2016 hingga semester I-2020 untuk EBT mengalami peningkatan. Hingga pertengahan pertama tahun ini bauran EBT telah mencapai 10,9%. Angkanya naik dari tahun lalu yang hanya 9,15%.

Untuk energi fosil, pemakaian gas bumi turun dari awalnya 20,13% menjadi 19,36% di semester I-2020. “Batu bara sudah turun dari 37,15% ke 35,36%,” ujar Djoko kepada Katadata.co.id, Rabu malam (17/9). Namun, untuk minyak justru meningkat dari 2019 sebesar 33,58% di semester 1 2020 sebesar 34,38%.

LNG Bontang untuk Cadangan Gas Nasional?

Pemanfaatan gas sebenarnya dapat menjadi opsi menuju transisi energi bersih. Bahkan penggunaannya dapat berdampak pada upaya pemerintah dalam mengurangi impor bahan bakar minyak. PLN mengklaim melalui proyek gasifikasi pembangkit listrik, perusahaan dapat menghemat konsumsi BBM hingga satu juta kilo liter. Biaya operasionalnya juga turun hingga Rp 4 triliun.

Dengan kondisi itu, potensi pemanfaatan gas bumi dalam negeri masih menjanjikan. Namun, isu pasokan terus bermasalah hingga saat ini.

Kabar akan berakhirnya kontrak perjanjian jual beli gas dari konsorsium WBX (Western Buyer Extention) Jepang di proyek LNG Bontang dapat menjadi angin segar untuk industri gas Tanah Air. BPH Migas berharap pasokan gas tersebut dapat dialihkan sebagai cadangan gas nasional dan dioptimalkan untuk pasar domestik.

“Informasi bahwa kontrak LNG dengan Jepang tidak diperpanjang, saya senang sekali. Mari memanfaatkannya untuk dalam negeri,” kata Komite BPH Migas Hari Pratoyo dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR pada Selasa lalu.

Namun, pengamat energi sekaligus pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat pemanfaatan itu baru bakal terjadi kalau negara ini sudah memiliki infrastruktur yang siap. Pemerintah juga perlu membuat regulasi agar harga gas menjadi kompetitif.

Saat ini infrastruktur gas di Indonesia belum memadai. Hal ini terlihat dari belum optimalnya pipa-pipa yang menyambungkan sumber pasokan ke titik konsumen. Padahal, ketersediaan infrastruktur dengan harga gas saling berkaitan. Jika infrastruktur tidak memadai, sulit memasarkan gas ke domestik dengan harga kompetitif.

Penyelesaian masalah harga gas sebaiknya tidak selalu mengedepankan dengan pendekatan pengaturan ke harga tertentu. Tetapi lebih dengan membangun struktur pasar domestik yang lebih optimal dan efisien. Salah satunya dengan percepatan pembangunan infrastruktur gas.

Namun, untuk merealisasikan itu semua membutuhkan waktu yang cukup panjang. “Kalau infrastruktur seperti jalan atau kelistrikan bisa dipercepat, hal yang sama mestinya juga bisa diterapkan untuk infrastruktur gas,” ujarnya.

Dengan semua kondisi itu, Pri Agung berpendapat peningkatan cadangan gas nasional seharusnya tak sebatas masalah kontrak penjualan tidak diperpanjang. “Upaya peningkatan cadangan adalah melalui investasi, baik untuk eksplorasi maupun produksi dan pengembangan,” kata dia.

BPH Migas menyadari akan persoalan tersebut. Regulator yang bergerak di sektor hilir migas ini pun berkeinginan untuk menggenjot pembangunan infastruktur gas. Termasuk di dalamnya, pembangunan terminal LNG dan melakukan pemerataan pengembangan jaringan gas bumi atau jargas di Indonesia.

Persoalan Harga Gas

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyebut, berdasarkan data yang ada, tren konsumsi dan alokasi gas untuk domestik memang terus meningkat. Namun, yang masih menjadi catatan selama ini, yakni persoalan harga.

Harga gas yang diekspor tentunya akan berbeda untuk pasar domestik. Karena itu, apabila pemanfaatan LNG Bontang diperuntukkan ke pasar domestik maka pemerintah perlu mencari solusi yang terbaik. “Hal ini tentu yang harus diformulasikan bagaimana solusi terbaiknya,” ujarnya.

Akhir tahun ini menjadi masa penentuan bagi proyek LNG Bontang di Kalimantan Timur. Pasalnya, WBX Jepang dikabarkan tidak akan memperpanjang kontrak yang sudah terjalin hampir 50 tahun.

Kyushu Electric Power Co menjadi satu-satunya perusahaan dari konsorsium WBX yang masih akan membeli tiga kargo LNG hingga 2022. Toho Gas Co memutuskan tidak memperpanjang kontrak. Empat perusahaan lain, yaitu Chubu Electric Co, Kansai Electric Power Co, Nippon Steel Corp, dan Osaka Gas Co Ltd, kemungkinan besar melakukan langkah serupa.

Meski begitu, SKK Migas memastikan gas alam cair dari Kilang Bontang masih memiliki pasar, meskipun ditinggalkan WBX pada tahun ini. Pelaksana Tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurniasih mengatakan Shell sudah menandatangani persetujuan membeli 25 kargo hingga 2025. Sebanyak 13 kargo LNG Bontang tahun ini disalurkan ke PT Nusantara Regas, anak perusahaan Pertamina.

Kepergian WBX, menurut Susana, karena konsorsium sudah menanamkan banyak komitmen di proyek minyak dan gas (migas) lainnya. “Karena kebutuhannya terpenuhi, mereka melepas beberapa kontrak. Salah satunya di Bontang,” ucapnya.

Ia mengatakan kilang yang sudah beroperasi hampir 50 tahun tersebut sudah mengalami penurunan produksi. Pemerintah dalam jangka menengah berencana lebih fokus menetapkan pasar potensial ketimbang mencari pengganti WBX.

Source : https://katadata.co.id/sortatobing/berita/5f636eb21f949/rumitnya-menambal-cadangan-gas-nasional

Leave a Reply

Your email address will not be published.